Pemilu 2019 Dan Tantangan Menjaga Trust Culture - 3i Networks Palangka Raya - Gratis Website 3i-Networks

Gadged Multi Fungsi

Formulir Kontak

KONTAK KAMI

Silahkan isi formulir di bawah ini untuk menghubungi kami

Nama

Email

Pesan

Pemilu 2019 Dan Tantangan Menjaga Trust Culture

 sebagai proses demokrasi lima tahunan kini telah menjadi ujian penting bagi bangsa Indone Pemilu 2019 Dan Tantangan Menjaga Trust CultureFoto: Rifkianto Nugroho

Jakarta -Pemilu 2019 sebagai proses demokrasi lima tahunan kini telah menjadi ujian penting bagi bangsa Indonesia guna menjaga trust culture yang sejatinya masih dalam proses menjadi. Konsep trust culture (budaya saling percaya) diperkenalkan oleh Francis Fukuyama, seorang sosiolog populer Amerika, sebagai sebuah modal sosial yang menjadi elemen mendasar alasan kemajuan sebuah bangsa, melalui bukunya yang berjudul Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995).

Fukuyama berpendapat bahwa kemakmuran ekonomi dan kemajuan politik yang awet tidak mampu dicapai bila hanya mengandalkan melimpahnya sumber daya alam, bagusnya kualitas sumber daya manusia, atau upaya pelembagaan ekonomi, politik, dan aturan semata.

Modal sosial yang bertumpu pada "community base on trust culture" inilah yang menurut Fukuyama telah menggerakkan operasi rasional dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum. Trust society menciptakan jaringan kerja sama yang saling menguntungkan di antara entitas yang saling berinteraksi. Trust society pula yang menjadikan panggung politik menjadi demokratis dan produktif, juga menciptakan masyarakat menghindari perilaku suap menyuap dalam duduk perkara hukum.

Pendek kata, kemakmuran ekonomi serta demokrasi politik dan aturan memerlukan budaya untuk saling percaya satu sama lain. Fukuyama membedakan trust culture ini dalam dua kelompok. Pertama, high trust society, yaitu masyarakat yang sudah mempunyai rasa saling percaya yang tinggi. Pada kelompok ini Amerika, Jerman, dan Jepang diidentifikasikan sebagai teladan negara yang masyarakatnya sudah memiliki trust yang tinggi, baik secara horizontal maupun vertikal. Pada ketiga negara ini, kita tidak hanya mampu menyaksikan kemakmuran masyarakat, tetapi juga hadirnya budaya demokrasi politik dan hukum.

Kelompok kedua, low trust society, merujuk situasi masyarakat sebuah negara yang memperlihatkan rendahnya rasa saling percaya di antara warga negaranya. Pada kategori kedua ini India, China, dan Italia ditunjuk sebagai contohnya. Praktik bisnis dan politik yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan indikator simpel yang mampu kita jadikan tolok ukur. Langgengnya feodalisme dan rendahnya kualitas demokrasi, memang hadir beriringan dengan kurangnya saling percaya antarwarga negara.

Lalu, bagaimana posisi Indonesia? Jika kerangka analisis Fukuyama ini diletakkan pada ketika riset dilakukan, tentu saja dengan simpel mampu digolongkan pada kelompok low trust society. Saat tesis trust culture ini muncul, Indonesia masih berada di bawah kuasa Orde Baru yang berkubang dengan KKN, penegakan aturan yang tumpul, sentralisasi pembangunan dan ekonomi, serta banyak lagi penanda yang menjadikan rendahnya rasa saling percaya.

Hadirnya Reformasi 1998 telah membuka peluang perbaikan struktur ekonomi, politik dan hukum. Penerapan demokrasi elektoral, di mana kepemimpinan politik dipilih eksklusif oleh rakyat, keterbukaan media, kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, reformasi hukum, serta otonomi daerah memberi harapan akan adanya perbaikan. Kini, lebih dari dua dekade kala Reformasi, cukup banyak kemajuan yang mampu diraih bangsa Indonesia.

Sudah Terlatih

Terlepas dari upaya perbaikan secara struktural, sejatinya bangsa Indonesia sudah terlatih memandang perbedaan dan keragaman. Tidak banyak negara bangsa di dunia ini yang mempunyai keragaman suku, sopan santun istiadat, agama dan bahasa mirip Indonesia.

Meski kemajuan prosedur demokrasi Indonesia makin diakui dunia internasional, namun pada Pemilu 2019 setidaknya terdapat tiga fenomena serius yang seyogianya tidak dinafikan. Pertama, masih terjadinya pelanggaran dan kecurangan dalam jumlah yang cukup masif, mirip belum berhentinya serangan fajar yang dibuktikan dengan banyaknya pengungkapan pengawas pemilu, ketidaknetralan penyelenggara yang menjadikan banyak TPS melakukan perhitungan dan pemungutan suara ulang, serta rekapitulasi suara yang alot di banyak kecamatan yang diduga disebabkan terjadinya perubahan suara calon anggota legislatif.

Meskipun hingga kini belum ditemukan indikasi upaya sistematis dan terstruktur untuk kontestan tertentu di tingkat nasional (capres-cawapres dan partai politik), namun sejumlah fenomena di atas memperlihatkan bahwa budaya demokrasi yang menjadi indikator keberadaan trust culture secara politik belum benar-benar mengakar dalam praktik politik di Indonesia.

Kedua, bangkitnya politik identitas yang mayoritas mewarnai Pemilu 2019. Tumbuhnya politik identitas sebetulnya merupakan fenomena global, yang secara kasat mata sudah kita saksikan sejak jajak pendapat yang berujung keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (Brexit) 2016, Pilpres Amerika Serikat 2016, serta yang paling final Pilpres Brazil 2018. Politik dunia belakangan ini memang ditandai oleh menguatnya kelompok kanan, baik dalam informasi agama maupun nasionalisme.

Pada Pilpres 2019, polarisasi balasan sentimen agama secara dramatis, menyisakan kekhawatiran pada bangunan kohesi sosial dan budaya. Katakanlah di level elite, proses rekonsiliasi itu tidaklah sulit terwujud, karena umumnya didominasi oleh kepentingan ekonomi dan politik, namun residu yang diterima oleh kelompok yang terpapar, membutuhkan waktu lama untuk pulih secara alamiah. Terlebih muncul kecenderungan untuk mengawetkan politik identitas tersebut untuk tujuan politik jangka panjang.

Ketiga, masifnya kabar bohong, disinformasi, dan provokasi di media sosial. Kemunculan media umum yang mampu dioperasikan individu warga negara dari telepon genggam masing-masing, diwarnai dengan masifnya disinformasi dan provokasi. Pemilu 2019 tampaknya menjadi puncak arus informasi satu arah, di mana pengguna media umum terjebak menjadi perpanjangan tangan kelompok kepentingan yang memproduksi hoax, sehingga menempatkan masyarakat sebagai objek politik belaka.

Penggunaan Twitter, Facebook, Instagram, dan WhatsApp memang telah mengubah simpatisan politik yang semula pasif menjadi partisipan aktif. Hanya saja sayangnya, partisipasi tersebut gagal menempatkan mereka menjadi subjek politik, yang mensyaratkan produksi ide dan gagasan orisinal guna membuka ruang bagi perdebatan yang produktif. Alih-alih menjadi subjek, media umum justru dimanfaatkan sebagai penyampai pesan satu arah.

Potensi Distrust

Tiga fenomena di atas berjejalin dengan ketidakdewasaan elite politik dalam menyikapi kontestasi Pemilu 2019. Klaim kemenangan sepihak yang diikuti tudingan kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif tanpa upaya pembuktian secara konstitusional menjadikan hadirnya potensi distrust secara sistematis atas penyelenggaraan pemilu dan pada kesudahannya berujung pada delegitimasi institusi hasil pemilu, baik eksekutif maupun legislatif.

Polarisasi balasan proses politik dalam pemilu ini bukanlah sesuatu yang mampu disepelekan. Konsekuensinya dalam jangka panjang, mampu berujung pada minimnya kepercayaan pada lembaga negara. Padahal hakikat demokrasi politik yaitu kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum, karena dengan demikian diharapkan hadir derma rakyat pada kepemimpinan politik produk pemilu.

Proses demokrasi melalui pemilihan umum sejatinya dijalankan guna makin memperkuat budaya saling percaya, sebuah high trust society yang menjadi modal sosial bagi pemerintahan terpilih semoga mewujudkan komitmen dan jadwal politiknya, berkat partisipasi aktif semua warga negara dalam pembangunan.

Ton Abdillah Has pemerhati sosial politik


Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari gesekan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan gesekan pena kamu sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Back To Top