
Jakarta -Tersebutlah tukang penjual kerudung. Barang yang ia jual biasa saja. Merk lama. Di kurun media sosial yang memunculkan pesatnya bisnis kelas menengah muslim yang memproduksi barang yang sama, bisnis merk ini termasuk tertinggal. Selain tampak terang tak ada inovasi, hari ini sirkulasi bisnis mampu dengan praktis diamati dari hiruk pikuk akun Instagram. Follower akun Instagram label ini jauh tertinggal jika dibanding label-label kerudung gres yang bermunculan belum lama. Tak usah dibandingkan dengan follower Jenahara dan Ria Miranda, wong dibanding dengan akun online shop kecil-kecilan yang pemiliknya ialah mahasiswa kuliahan saja ia sudah kalah.
Lalu, ada seorang artis yang belum lama memakai kerudung memutuskan untuk menanggalkan kain itu dari kepalanya. Tim pemasaran si merk lama merasa mendapatkan kesempatan. Ia membuat strategi pemasaran dengan judul "kerudung untuk si artis". Maksud si pemasar tentu saja mencari perhatian masyarakat. Masyarakat harus tahu bahwa pakai kerudung itu wajib buat muslimah. Masyarakat harus tahu bahwa kerudung itu murah. Alih-alih merebut hati masyarakat, banyak orang marah melihat iklan yang jauh dari kata kreatif itu.
Entah kehabisan budi untuk membuat produknya dilirik pembeli atau sekadar kurang kerjaan, merk lama itu baru-baru ini meluncurkan iklan baru: pakaian makin ke atas, prestasi makin ke bawah. Sebetulnya masyarakat bingung mengapa di pada 2018 ada merk yang merasa besar tapi selera iklannya sangat terbelakang. Di dikala tren gerakan sosial sudah sampai pada nilai kolaboratif alias gerak bersama, merk lama itu memilih nilai jualan yang kembali memicu emosi publik. Dan, lagi-lagi perempuan yang jadi sasaran. Gara-gara pakaian, prestasinya diragukan.
Aduh, kata yang terakhir itu hari-hari ini makin sering bermuatan makna tinggi hati. Tiga kata ini mungkin mampu dicari artinya dalam kamus, tetapi secara filosofis mereka bukan kata-kata dengan makna yang praktis dijelaskan, karena terkait dengan sebuah spirit khas Islam. Artinya, ada banyak istilah yang sulit dijelaskan lewat pandangan umum, atau pandangan dunia (worldview) agama lain, alias memang memuat arti khusus. Yang menyedihkan ialah dikala kata tawadhu, taubat, dan hijrah justru kehilangan muatan makna paling falsafi yang bersifat ruhiyah. Menyisakan kata-kata yang lepas dari kandungan makna alias pelengkap penjualan belaka.
Tipe penjual lain berjualan rumah dengan denah penawaran yang sangat menarik: tanpa riba. Istilah riba, sama mirip beberapa istilah sebelumnya, hanya muncul dalam kamus besar agama Islam. Di bawah payung fikih, pendapat ulama bermacam-macam. Penawaran ini sekilas tentu saja menarik. Bayangkan saja membeli sebuah barang bernilai ratusan juta dengan syarat yang sama sekali tidak menakutkan dan tanpa risiko. Kalau risiko tinggi ini ternyata muncul, toh jadinya akan ditanggung oleh penjual yang punya barang. Memang ada kaidah terkait istilah ini, yakni perihal akad. Jika harga kecil tetapi cicilan mahal sehingga total bayar melebihi harga awal, sebutannya riba. Tapi, jika harga mahal sudah disebutkan di awal, lalu menyicil dengan harga yang tanpa tambahan persen keuntungan, itu bukan riba. Model ini sudah lama dipakai oleh tukang kredit panci yang biasa berkeliling memperlihatkan barang ke desa-desa.
Cuma, si penjual ternyata punya bakat mengawasi kepercayaan dan mengontrol moral pihak lain. Setiap hari, sambil berjualan, ia menghitungi dosa orang lain, bahkan meragukan Tuhan orang lain dikala seharusnya ia lebih banyak bicara soal mutu materi bangunan, akses ke lokasi, peluang pemberdayaan ekonomi, dan prospek ekonomi dan sosial lingkungan sekitar. Alih-alih jadi pembeli yang tertarik bertanya-tanya soal denah pengajuan kredit, lagi-lagi, justru muncul perasaan seram.
Tapi, para penjual tentu saja bukan orang yang lugu. Mereka tahu bahwa ada pihak-pihak yang tak suka dengan strategi pemasaran itu sama mirip mereka tahu ada target pasar yang akan mendapatkan strategi pemasaran mereka. Jika bahasa pasar yang seharusnya dibikin plural diubah eksklusif, logikanya, tentu saja harus ada masyarakat yang dibikin langsung pula.
Padahal, dalam hal muamalah manusia disarankan untuk berkegiatan dengan siapa saja asalkan bersepakat pada nilai-nilai kebaikan dalam bergaul. Bahasa kerennya, watak sosial. Etika sosial dalam berdagang ialah sama-sama untung. Si penjual untung, si pembeli senang mendapatkan barang dengan kualitas yang ia harapkan. Etika sosial ala agama, untungnya jangan banyak-banyak dan jika banyak untung, sisihkan sebagian keuntungan untuk mereka yang tak lebih beruntung.
Sederhana saja. Seharusnya tak perlu memakai budi langsung yang berisiko mengoyak ikatan sosial seperti, "pemakai kerudung berprestasi", "yang roknya ke atas tak berprestasi". Juga lingkungan perumahan syar'i, perumahan lainnya penduduknya penuh dosa.
Sebentar, apakah pemeluk agama lain kini tidak boleh makan tahu, pisang, dan jamur crispy?
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam memperlihatkan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari gesekan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat gesekan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com